Tuesday, January 29, 2019

The Black Mirror - Part 1

No comments

Pandanglah dunia sebagai dirimu sendiri.
Temukan iman pada segala sesuatu sebagaimana mestinya.
Cinta dunia sebagai dirimu sendiri
maka kau akan bisa menyayangi segala sesuatu.
Kutipan yang aku dapatkan dari novel Hamlet itu mengakhiri bacaanku untuk hari ini. Aku menyukai kutipan itu, karena berbanding terbalik dengan diriku. Aku mencintai diriku sendiri namun aku tidak bisa menyayangi segala sesuatu, termasuk seseorang. Bisa ditebak untuk hari ini kesekian kalinya aku duduk di sudut ruangan perpustakaan dengan buku—novel—yang selalu kubawa kemana-mana serta earphone yang selalu terpasang di telingaku. Aku melirik jam arloji cantik yang melingkar di tanganku. Bel tanda masuk pelajaran selanjutnya berbunyi tepat pada saat aku bangkit dari posisi bacaku.
Aku Keysha Nathania B. Seorang anak SMA yang duduk di kelas sepuluh ipa. Aku sedang berjalan menyusuri koridor untuk menuju ruang kelasku yang notabenenya begitu tidak menyenangkan bagiku, karena terlalu ramai. Bukan berarti aku tidak menyukai belajar, hanya saja kelas terlalu berisik untuk dijadikan tempat belajar yang asik. Tunggu dulu! Kalian pasti berpikir bahwa aku adalah seorang siswi yang culun dengan style; kacamata besar, baju dikancing sampai yang paling atas, rambut dikepang dua, dan rok yang sangat amat jauh dari lututku.
Ugh! Aku sangat tidak menyukai style itu.
Aku mempunyai style sama seperti anak sekolah pada umumnya. Hanya saja barang-barang yang kugunakan adalah barang-barang dengan kualitas tinggi, termasuk kacamata yang kugunakan, bukanlah kacamata si kutu buku—walaupun pada kenyataannya aku memang si kutu buku— kacamata yang kugunakan adalah kacamata bermodis dan sangat diinginkan oleh semua murid—jika mereka mengenalku dengan baik. Penampilanku bermodis namun tidak mencolok, rambut yang terkadang dikuncir kuda, atau sekedar dijepit, atau hanya sekedar di bando, yang pasti rambutku tak pernah kosong dari aksesoris manis yang tidak mencolok. Jam arloji yang selalu melingkar di tanganku selalu berganti-ganti sesuai dengan warna aksesoris yang terpasang pada rambutku. Iya, aku selalu memikirkan penampilanku, aku tidak ingin tampil mencolok, namun aku juga tidak ingin ketinggalan jaman dengan style yang kuno. Maklum, aku harus memanfaatkan apapun yang dibelikan oleh orangtuaku, bukan?
Namun barang-barang brandedku tidak seterkenal aku yang memakainya, aku tidaklah terkenal, bahkan aku adalah orang yang tak kasatmata. Aku hanya berbicara seperlunya saja pada orang-orang yang mau berbicara denganku, selebihnya? Tentu saja aku lebih memilih diam dengan lagak tidak perduli. Aku lebih menyukai diam dan memperhatikan pelajaran, duduk paling sudut dan paling belakang di ruang kelas, dan mendengarkan lagu yang mengalir merdu melalui earphoneku. Aku bukanlah orang yang paling rajin. Hanya saja aku lebih menyukai untuk memperhatikan, aku tidak mempunyai kegiatan lain dari selain mendengarkan? Hanya mendengarkan dan belajar yang mempunyai manfaat untuk masa depanku.
“Kesya! Hey! Hey!”
Suara seseorang membuatku terganggu, yang benar saja, aku sedang mempelajari pelajaran yang akan segera dimulai. Dan orang yang sedang memanggilku ini dengan tidak tahu malunya duduk di sampingku—yang sebelumnya selalu kosong—dia mengganggu kegiatan yang sedang aku lakukan.
Aarrrggghhhh!
“Kenalin dong…” dia mengulurkan tangannya untuk menjabatku. Aku hanya menatap tangannya dengan bingung, siapa orang ini? Batinku, “gue Alvino Pradipta A.” lanjutnya. Lama tak ada balasan, dia pun dengan geram meraih tanganku. Aku mengerjapkan mataku untuk menyadarkan ku pada situasi yang membingungkan ini.
“Keysha, bantu Alvino belajar ya.” ibu Riri. Guru Kimiaku memberi pesan tersirat padaku. Aku langsung melihat kearah guruku dan mengangguk patuh dengan menyunggingkan senyum. Ternyata sedari tadi aku yang sibuk berkutat dengan catatanku membuatku tidak sadar bahwa ibu Riri sudah berdiri di depan kelas dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.
Alvino menyenggolku dengan sikunya menyadarkanku kembali, “eh… Keysha,” ujarku menjawab pertanyaannya. Dia pun tersenyum geli melihat reaksiku.
“Gue bukan anak pindahan sekolah kok, cuma pindahan kelas doang. Anak kelas sebelah, kagak tau lu?” katanya sambil kembali menatap ke depan. Aku hanya mengangkat bahu tanda tak tahu dan tak mau perduli.
“Padahal gue minta khusus banget sama bokap gue biar diurusin pindah kelas gini, ya walaupun nggak seribet pindah sekolah sih.” Ujarnya lagi seperti menerangkan penjelasan atas kepindahannya.
Aku kembali fokus dengan catatanku. Sebelumnya aku menyimpan earphoneku terlebih dahulu, untuk lebih fokus dengan pelajaran eksak yang luar biasa ini. Aku mencoba akan menulis tapi Alvino menyenggolku lagi dengan memberikanku permen karet. Aku menggeleng. Menolak. Sepertinya dia akan jadi masalah untukku, huft!
Selama sembilan puluh menit pelajaran berlangsung aku hanya fokus pada pelajaran. Saat bel pergantian pelajaran berbunyi, aku menyusun buku kimia yang bertebaran di mejaku. Tidak sengaja aku melihat Alvino yang berada di sampingku. Ternyata Alvino tertidur lelap menghadapku. ini de javu. Pikirku. Aku memperhatikan tiap lekuk wajahnya, seperti tidak asing lagi bagiku melihatnya. Aku mencoba menyentuh ujung hidungnya namun sebelum ujung jariku yang lentik menyentuh ujung hidungnya, ia membuka matanya yang membuatku gelagapan mengalihkan pandanganku.
“Nath, udah selesai ya jamnya?”
“I-iya,” jawabku gugup.
Dia hanya mengerang lalu merenggangkan tubuhnya selanjutnya berlalu meninggalkanku yang masih gugup karena hampir ketahuan memperhatikan orang yang sedang tidur. Aku menatap punggung lebarnya yang berlalu.
***
Aku menunggu taxi yang lewat di halte depan sekolah dengan novel Hamlet di tanganku. Hari ini Pak Parman supir pribadiku izin karena anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Kasihan Pak Parman, untung saja Papa dan mama mau membiayai pengobatan rumah sakit anaknya Pak Parman.
“Wow!”
Aku terlonjak kaget dari lamunanku karena asal suara tersebut, aku langsung melihat asal suara yang mengagetkan itu. Entah sejak kapan Alvino telah berada di depanku dengan duduk di atas motornya. Aku hanya meliriknya dan kembali lagi pada novel yang sempat terputus ku baca karena melamunkan Pak Parman yang tidak bisa menjemputku.
“Lo ternyata juara umum ke-2 ditiga angkatan ya Nath, tapi kenapa gue nggak tahu ya. Seharusnya kan lo terkenal kayak si Viran yang cupu itu.” celotehnya yang membuatku meliriknya. Tak ku hiraukan, aku melangkah pergi dari hadapannya. Dia berisik. Namun, baru saja berbalik tanganku dicekal olehnya. Dia tersenyum dengan gayanya yang membuat semua para gadis di halte ini menatapnya dengan pandangan memuja. Oh god!
“Ada apa ya?” tanyaku pelan dengan sedikit geram.
“Ikut gue yuk!” ajaknya. Aku sedikit terbelalak kaget, lalu ku tutupi dengan menggeleng, menolak ajakannya. “Kalo lo nggak mau ikut gue, ntar gue teriak-teriak di sini samb...” aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku. Entah kekuatan yang datang dari mana membuatku mampu untuk melakukan itu.
Dia tertawa menang. Lalu menarik tanganku yang mendekap mulutnya dengan ringan mengarah ke belakang punggungnya “Naik!” perintahnya.
“Pegangan Nath…” perintahnya lagi.
“Udah kok,” sahutku. Aku memegang besi yang berada di belakang jok motor dengan kuat. Jika yang dia maksud pegangan itu dengan memeluknya maka aku berkata ‘aku tidak mau’ dan aku tidak akan melakukannya. Ini yang pertama kalinya aku naik motor. Dan benar saja, ini menakutkan.
“Kalo lo cuman pegangan sama besi jok motor ini lo bakalan jatoh. Jangan keras kepala Nath!” perintahnya lagi. Namun aku tetap ‘tak bergeming, aku hanya diam dan tak menyahuti. Ya Tuhan, jangan buat hambamu ini jatuh dan tergelepar dijalanan. Doaku alay.
Dengan sangat tiba-tiba dia melajukan motornya dengan sangat cepat dan tanpa di duga aku langsung memeluk tubuhnya dengan takut. Takut kalau saja nanti aku bisa jatuh dari tempatku. Namun sesaat kemudian dia melajukan motornya dengan sangat konstan. Tapi aku tetap tidak melepaskan peganganku dari tubuhnya bahkan tidak berani untuk membuka mataku yang tertutup. Aku terlalu takut! Oke, aku akui sekali lagi bahwa aku 'tak pernah naik motor seumur hidupku! Jadi wajar saja bukan, jika aku ketakutan seperti sekarang?
Dari posisi seperti ini membuatku mampu untuk mencium aromanya. Khas laki-laki. Aroma musk tubuhnya yang bercampur dengan sedikit sisa aroma parfum yang dikenakannya pagi tadi—mungkin.
“Udah sampek!”
Aku langsung mengerjapkan mataku, aku benar-benar tidak sadar kalau sekarang kami berada tepat di depan rumahku. Aku menguraikan peganganku dan turun dari motor. Aku berdiam di sampingnya menunggu penjelasan apa yang akan keluar dari mulutnya. Tetapi, dia hanya tetap tersenyum dengan smriknya ke arahku.
“Ini rumah lo kan?” tanyanya. Akupun mengangguk.
Dia menghela nafas dengan berat, “gue kira lo udah pindah, ternyata lo masih tetep di sini.”
Aku mengerjap, apa maksudnya? Bukankah tidak ada orang yang mengetahui dimana rumahku? Aku ingat betul bahwa aku tidak menyebutkan alamatku padanya. Dan dia Vino—aku menetapkan akan memanggilnya Vino—orang yang baru kukenal beberapa jam yang lalu tahu dimana letak rumahku. Bahkan dia bukanlah teman SMP ku. Lalu dia siapa?
Tiba-tiba dia menyemburkan tawanya membuat lamunanku terbuyar. Apa yang lucu? Oh god! Pasti aku telah memasang wajah paling bodoh saat ini di depannya yang membuat dia tertawa terbahak-bahak di depanku. Kurasakan sekarang bahwa pipiku sudah memanas. Dan kupastikan wajahku pasti sekarang telah merona akibat wajah bodoh yang aku perlihatkan pada Vino. Sial!
“Lo itu lucu banget sih Nath! Sana masuk Nath,” perintahnya. Dan aku berbalik berjalan patuh menuju gerbang rumahku sesuai dengan perintahnya.
Tunggu! Nath? Sedari tadi dia memanggilku Nath? Bukankah aku tadi memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama panggilanku ‘Keysha’? lalu tahu darimana dia ‘Nath’ yang diambil dari ‘Nathania’. Aku berhenti di depan pintu gerbang rumahku sambil berpikir. Lalu berbalik menatapnya yang tersenyum.
“Keysha Nathania Bagaskara,” gumam Vino yang sekarang telah berdiri di depan tubuhku yang mematung. Aku mendongak menatapnya dengan bingung.
“Benerkan?” senyumnya mengembang, “lo masih sama ternyata,” lanjutnya dan mengacak rambutku lalu berlalu pergi. Aku masih mematung atas perlakuannya dan menatap punggung itu semakin menjauh dengan keadaan tanda tanya.
***
Rambutku kubiarkan terurai, lalu kuselipkan jepit rambut untuk mempercantiknya dengan simpel. Kacamata berwarna senada dengan rok kotak-kotak tiga centi di atas lututku, kaos kaki yang senada dengan seragam putihku dengan sedikit list yang mempercantiknya, jam arloji yang kulingkarkan ditanganku pun senada dengan jepit dirambutku. Aku berjalan ke arah rak sepatu mengambil salah-satu sepatu sekolah yang biasanya kupakai saat memakai seragam ini.
Aku melenggangkan kakiku keluar kamar dan duduk dengan manis di kursi meja makan untuk mengikuti ritual sehari-hariku yaitu, sarapan pagi dengan roti tawar dan coklat panas buatan mama.
Belum sempat ku masukkan roti tawar yang telah ku beri selai kacang, tiba-tiba saja bang Arka datang, “Nath, ada yang nyari kamu tuh di depan,” ujar bang Arka sehabis berlari pagi. Rutinitasnya semenjak dia pulang dari Perancis.
“Hah, emang siapa?” tanyaku kaget, karena sudah ku jelaskan dari awal bahwa teman-temanku tidak ada yang tahu dimana rumahku. Kecuali Vino.
“Nggak tahu. Kamu temuin aja sana di depan. Katanya sih temen sebangku seperjuangan gitu,” jawab abangku dengan seenaknya sambal meraih roti tawar yang berada di tanganku.
Tidak ku hiraukan lagi, tanpa babibu akupun melesat ke ruang tamu untuk menghampiri Vino —yang datang tanpa sebab dan akibat ke rumahku— walaupun roti tawarku sudah diambil, tidak dengan coklat panasku, aku menggenggamnya sembari berjalan menghampiri Vino.
“Hey Nath!” sapa Vino dengan riangnya. “Udah selesai belum sarapannya? Yuk berangkat bareng.”
Aku hanya melongo dengan ucapannya barusan, kaget dan tak bisa berkata apa-apa. Anak ini memang susah ditebak, tiba-tiba saja memberiku tumpangan untuk pulang ke rumah dan ini tiba-tiba saja datang untuk mengajakku ke sekolah bersama-sama. Aku sampai tak sadar jika Bang Arka telah berada di sampingku dan menyenggol sikuku pelan, “iyain aja sana, mumpung ada pangeran yang jemput,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
“Boleh kok, boleh banget,” sahut Bang Arka menjawab ajakan Vino tanpa persetujuanku terlebih dahulu.
***
Alhasil aku sampai di sekolah dengan Vino! Ya Alvino Pradipta A. dia menculikku pagi-pagi dengan menunjukkan senyum menawannya pada mama untuk meminta izin membawaku pergi ke sekolah dengan dibonceng menggunakan motor yang menyesakkan ini! Tumbennya mama dan bang Arka tidak cerewet seperti biasanya, padahal mama dan bang Arka tahu kalau aku tidak pernah naik motor dan takut saat mengendarainya. Malah Bang Arka yang menjadi provokator agar Mama memberi izin agar Vino bisa membawaku ke sekolah.
Pagi-pagi seperti ini aku sudah menjadi mangsa bagi seluruh penjuru sekolah, semua leser dari bola mata para siswi yang menatapku disepanjang koridor seakan ingin menembakku. Bahkan tidak sedikit ada yang terang-terangan menyinggungku karena datang ke sekolah bersama Alvino Pradipta! Aku jadi menyesali untuk mau ikut ke sekolah bersamanya sekaligus mengutuk mama yang memberikan izin dengan mudahnya pada Alvino untuk membawaku pergi ke sekolah pagi ini. Aku tidak begitu mengerti seberapa terkenalnya Alvino, yang pasti aku tidak pernah tau Alvino di sekolah ini. Lagian Alvino lah yang bersikap sok dekat denganku.
“Vino!” teriak seseorang dari ujung koridor yang membuat semua mata tertuju pada asal suara tersebut, termasuk aku dan Vino yang ikut berpaling ke arah asal suara. Veronika. Anak kelas X MIPA 1 merupakan anak dari salah satu orangtua yang memberikan dana sumbangan terbesar bagi sekolah Shellcario High School ini. Sialnya kelas yang aku sebutkan itu juga merupakan kelas yang kutempati.
“Ngapain kamu berangkat bareng cupu jelek ini?” lanjut Vero yang sekarang telah bergelayut manja dilengan Vino. Tidak ku hiraukan, ini adalah kesempatanku untuk kabur dari Alvino dan jeratan dari semua tatapann mata siswi di seluruh penjuru koridor, aku berjalan meninggalkan mereka berdua dengan santai tanpa memedulikan tatapan dari penjuru sekolah. Sayup-sayup kudengar Vino meneriaki namaku. Namun, tetap tidak kuhiraukan sedikitpun apalagi berbalik. Aku terus saja melenggangkan kakiku menuju ruang kelas tanpa memedulikan semua tatapan mata yang tertuju padauk, seolah-olah akan membunuh ku hidup-hidup sekarang juga.
***
Seperti biasanya, aku menekuri novelku di atas tempatku belajar. Sekilas aku melihat keadaan disekitarku, semuanya lagi banyak menyalin pekerjaan rumah yang diberikan ibu Sumi kemarin. Aku acuh ‘tak terlalu menghiraukan mereka, toh juga pekerjaan rummahku sudah selesai kukerjakan kemarin sepulang sekolah di rumah.
“Nath, gue ada yang nggak ngerti nih sama pr yang dikasih sama bu Sumi kemarin. Lo kan pinter. Ajarin gue ya, kan lo nggak pelit,” rayu seseorang padaku setelah sampai ke kelas. Siapa lagi kalo bukan Vino. Aku hanya memutarkan bola mataku memberi tanda bahwa aku tidak perduli dengannya.
Dia mengacungkan buku dan penanya padauk berusaha agar aku tak mengacuhkannya. Tetap tak kuhiraukan, aku berbalik menyamping untuk membaca. Namun, dia merebut novel yang berada di tanganku dengan paksa dan menyimpannya, yang membuatku akhirnya dengan sangat terpaksa dan mau tidak mau harus membantunya untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Dengan malas-malasan aku mengeluarkan buku tugasku dari dalam tas dan membuka lembarannya satu-persatu. Vino tersenyum lebar melihat tingkahku yang terlihat kalah darinya. Aku mengajarkannya dengan pelan dan sedikit malas. Aku dibuat kesal setengah mati karena Vino. Yang benar saja, hampir setengah jam aku mengajarkannya dan dia hanya mengerti pada satu soal saja.
“Susah banget sih Nath, lo kok bisa. Kenapa gue nggak?” celetuknya sebal.
Aku menghela nafas berat, “kamu bisa kok Vin, asal latihan aja terus. Seenggaknya satu hari lima menit udah cukup kok.”
“Gue coba, tapi nggak janji ya.”
Aku hanya menggeleng mendengar tanggapannya, siapa yang perduli? Siapa juga yang meminta dia berjanji? Aku tidak menyuruhnya untuk bisa dan harus bisa. Aku hanya membantunya selagi dia meminta bantuanku. Aku hanya mengubah cara pandangnya sedikit saja agar dia tidak merepotkanku lagi kedepannya. Lagian aku tidak perduli dia memahaminya tau tidak. Huh Vino!
***
Setiap tahun sekolah kami mengadakan malam tahun baruan di sekolah. Kami menyambut tahun baru di sekolah dengan membakar jagung, ayam, dan apapun yang bisa kami lakukan. Pada momen ini lah para orangtua unjuk kekayaan dengan memberikan berbagai macam biaya akomodasi. Aku sebenarnya tidak menyukai hal ini walaupun orangtuaku tetap memberikan biaya akomodasi, tujuan orangtua ku agar anaknya mengikuti acara tersebut, namun selalu gagal. Walaupun aku tidak menyukai acara ini, tetap acara ini akan diselenggarakan karena merupakan program dari osis yang mau ‘tak mau harus diadakan. Pihak sekolah juga mendukung program ini karena kelebihan biaya akomodasi akan masuk ke uang kas sekolah untuk pendanaan yang lain.
Kali ini aku duduk sendirian di taman belakang sekolah, tidak terlalu jauh dari segerombolan teman sekolahku yang lainnya. Aku tidak ikut serta mengikuti mereka yang sedang asik-asiknya, karena itu bukan duniaku. Duniaku hanya membaca dan aku sedang melakukan ritual itu sekarang. Ditemani dengan angin malam yang membelai wajahku, membuat anak rambutku menari nari di pipiku.
Pakaianku malam ini sedikit mencolok karena pilihan mama. Terlihat sekali mencoloknya dengan sekilas saja semua mata para siswi memperhatikanku, tak sedikit juga para siswa Nampak kaget dengan pakaianku malam ini, gaun malam santai merah maron ditutupi dengan coat yang tidak dikancing, lalu sepatu kets berwarna putih yang menjadikanku sebagai siswi yang sangat bermodis.
Kalau tidak karena Alvino yang mengajak dan merayuku untuk datang kemari, aku tidak akan mau datang. Belum lagi paksaan, bujuk rayu dari Mama dan Bang Arka. Tapi sekarang, Vino malah asik sendiri dengan teman-temannya hingga lupa bahwa aku telah terpisah jauh darinya. Saat sampai kemari, Vino dikerumuni oleh teman-temannya. Aku yang merasa terusir akhirnya mengasingkan diri di sini. Di taman belakang sekolah tempat favoritku menenangkan diri.
“Heh cupu!” tegur seseorang yang kukenal suaranya, siapa lagi kalau bukan dia. Dia menyenggol-nyenggol kakiku. Namun, aku mengacuhkannya. “Cupu! Lo bisa denger gue, kan?!” lanjutnya membentakku geram. Aku melepaskan earphone yang kugunakan dan menutup novel yang kupegang dengan beralih menatapnya.
“Ada perlu apa Ver?” tanyaku santai.
“Temenin gue yuk!” ajaknya menarik tanganku sampai aku berdiri di sampingnya.
“Kemana?”
“Ke departemen store, sebentar aja.”
“Ngapain?”
“Ada bahan yang kurang, mumpung belum malem banget nih,” rayunya lagi. Aku melihat jam arlojiku, pukul setengah sembilan malam. Aku mengangguk menyetujuinya. Lantas dia menarikku sampai ke mobilnya.
Di departemen store dia langsung menarikku paksa menuju ke lift untuk sampai ke supermarket yang berada di lantai paling atas departemen store, lantai empat. Aku berhenti sejenak sebelum memasuki lift itu, hingga akhirnya Vero menarik lenganku kuat, “kenapa nggak naik tangga escalator aja sih Ver?”
“Nggak ah, enakan naik ini yuk!” dia menarikku tanpa persetujuanku terlebih dahulu. Saat aku sudah di dalam dengan beberapa orang yang menghalangiku dari pintu lift, dia langsung loncat keluar lift dan meninggalkanku yang terperangkap karena banyaknya orang yang menaiki lift ini. Aku meneriakinya mencoba menggapainya tetapi pintu lift tertutup.
Dadaku mulai sesak dan kehabisan oksigen, aku mulai susah bernafas. Pelipisku mulai berkeringat dingin. Bukan karena udara di dalam lift yang panas, tapi karena aku mulai sekarat! Aku memukul-mukul dadaku berharap dapat bernafas dengan mudah. Semua orang tidak menyadari keadaanku yang berada paling pojok, lebih tepatnya tidak ingin memerdulikaku. Beginikah rasanya tidak dihiraukan oleh semua orang. Oh Tuhan! Mama! Vino! Bang Arka! Tolongin Nath! Nath sekarat di sini, batinku berteriak kencang. Berharap mereka adalah salah satu dari yang aku harapkan.

No comments :

Post a Comment