Pandanglah dunia sebagai dirimu sendiri.
Temukan iman pada segala sesuatu
sebagaimana mestinya.
Cinta dunia sebagai dirimu sendiri
maka kau akan bisa menyayangi segala
sesuatu.
Kutipan
yang aku dapatkan dari novel Hamlet itu mengakhiri bacaanku untuk hari ini. Aku
menyukai kutipan itu, karena berbanding terbalik dengan diriku. Aku mencintai
diriku sendiri namun aku tidak bisa menyayangi segala sesuatu, termasuk
seseorang. Bisa ditebak untuk hari ini kesekian kalinya aku duduk di sudut ruangan
perpustakaan dengan buku—novel—yang selalu kubawa kemana-mana serta earphone yang selalu terpasang di
telingaku. Aku melirik jam arloji cantik yang melingkar di tanganku. Bel tanda
masuk pelajaran selanjutnya berbunyi tepat pada saat aku bangkit dari posisi
bacaku.
Aku
Keysha Nathania B. Seorang anak SMA
yang duduk di kelas sepuluh ipa. Aku sedang berjalan menyusuri koridor untuk
menuju ruang kelasku yang notabenenya
begitu tidak menyenangkan bagiku, karena terlalu ramai. Bukan berarti aku tidak
menyukai belajar, hanya saja kelas terlalu berisik untuk dijadikan tempat
belajar yang asik. Tunggu dulu! Kalian pasti berpikir bahwa aku adalah seorang
siswi yang culun dengan style; kacamata besar, baju dikancing sampai yang paling
atas, rambut dikepang dua, dan rok yang sangat amat jauh dari lututku.
Ugh!
Aku sangat tidak menyukai style itu.
Aku
mempunyai style sama seperti anak sekolah pada umumnya. Hanya saja barang-barang
yang kugunakan adalah barang-barang dengan kualitas tinggi, termasuk kacamata
yang kugunakan, bukanlah kacamata si kutu buku—walaupun pada kenyataannya aku
memang si kutu buku— kacamata yang kugunakan adalah kacamata bermodis dan
sangat diinginkan oleh semua murid—jika mereka mengenalku dengan baik.
Penampilanku bermodis namun tidak mencolok, rambut yang terkadang dikuncir
kuda, atau sekedar dijepit, atau hanya sekedar di bando, yang pasti rambutku
tak pernah kosong dari aksesoris manis yang tidak mencolok. Jam arloji yang
selalu melingkar di tanganku selalu berganti-ganti sesuai dengan warna
aksesoris yang terpasang pada rambutku. Iya, aku selalu memikirkan
penampilanku, aku tidak ingin tampil mencolok, namun aku juga tidak ingin
ketinggalan jaman dengan style yang kuno. Maklum, aku harus memanfaatkan apapun
yang dibelikan oleh orangtuaku, bukan?
Namun
barang-barang brandedku tidak seterkenal aku yang memakainya, aku tidaklah
terkenal, bahkan aku adalah orang yang tak kasatmata. Aku hanya berbicara
seperlunya saja pada orang-orang yang mau berbicara denganku, selebihnya? Tentu saja aku lebih memilih diam dengan lagak
tidak perduli. Aku lebih menyukai diam dan memperhatikan
pelajaran, duduk paling sudut dan paling belakang di ruang kelas, dan mendengarkan
lagu yang mengalir merdu melalui earphoneku.
Aku bukanlah orang yang paling rajin. Hanya
saja aku lebih menyukai untuk memperhatikan, aku tidak mempunyai kegiatan lain
dari selain mendengarkan? Hanya
mendengarkan dan belajar yang mempunyai manfaat untuk masa depanku.
“Kesya!
Hey! Hey!”
Suara
seseorang membuatku terganggu, yang benar saja, aku sedang mempelajari
pelajaran yang akan segera dimulai. Dan orang yang sedang memanggilku ini
dengan tidak tahu malunya duduk di sampingku—yang sebelumnya selalu kosong—dia
mengganggu kegiatan yang sedang aku lakukan.
Aarrrggghhhh!
“Kenalin
dong…” dia mengulurkan tangannya untuk menjabatku. Aku
hanya menatap tangannya dengan bingung, siapa orang ini? Batinku, “gue Alvino
Pradipta A.” lanjutnya. Lama tak ada balasan, dia pun dengan geram meraih
tanganku. Aku mengerjapkan mataku untuk menyadarkan ku pada situasi yang
membingungkan ini.
“Keysha,
bantu Alvino belajar ya.” ibu Riri. Guru
Kimiaku memberi pesan tersirat padaku. Aku
langsung melihat kearah guruku dan mengangguk patuh dengan menyunggingkan
senyum. Ternyata sedari tadi aku yang sibuk berkutat dengan catatanku membuatku
tidak sadar bahwa ibu Riri sudah berdiri di depan kelas dengan kacamata yang bertengger
di hidungnya.
Alvino
menyenggolku dengan sikunya menyadarkanku kembali, “eh… Keysha,” ujarku
menjawab pertanyaannya. Dia pun
tersenyum geli melihat reaksiku.
“Gue
bukan anak pindahan sekolah kok, cuma pindahan kelas doang. Anak kelas sebelah,
kagak tau lu?” katanya sambil kembali menatap ke depan. Aku hanya mengangkat
bahu tanda tak tahu dan tak mau perduli.
“Padahal
gue minta khusus banget sama bokap gue biar diurusin pindah kelas gini, ya
walaupun nggak seribet pindah sekolah sih.” Ujarnya lagi seperti menerangkan
penjelasan atas kepindahannya.
Aku
kembali fokus dengan catatanku. Sebelumnya
aku menyimpan earphoneku terlebih dahulu, untuk lebih fokus dengan pelajaran
eksak yang luar biasa ini. Aku mencoba akan menulis tapi Alvino menyenggolku
lagi dengan memberikanku permen karet. Aku menggeleng. Menolak.
Sepertinya dia akan jadi masalah untukku, huft!
Selama
sembilan puluh menit pelajaran berlangsung aku hanya fokus pada pelajaran. Saat
bel pergantian pelajaran berbunyi, aku menyusun buku kimia yang bertebaran di
mejaku. Tidak sengaja aku melihat Alvino yang berada di sampingku. Ternyata Alvino tertidur lelap
menghadapku. ini de javu. Pikirku. Aku memperhatikan tiap lekuk wajahnya,
seperti tidak asing lagi bagiku melihatnya. Aku mencoba menyentuh ujung
hidungnya namun sebelum ujung jariku yang lentik menyentuh ujung hidungnya, ia
membuka matanya yang membuatku gelagapan mengalihkan pandanganku.
“Nath,
udah selesai ya jamnya?”
“I-iya,”
jawabku gugup.
Dia
hanya mengerang lalu merenggangkan tubuhnya selanjutnya berlalu meninggalkanku
yang masih gugup karena hampir ketahuan memperhatikan orang yang sedang tidur. Aku menatap punggung lebarnya yang
berlalu.
***
Aku
menunggu taxi yang lewat di halte
depan sekolah dengan novel Hamlet di tanganku. Hari
ini Pak Parman supir pribadiku izin karena anaknya sakit dan harus dirawat di
rumah sakit. Kasihan Pak Parman, untung saja Papa dan mama mau membiayai
pengobatan rumah sakit anaknya Pak Parman.
“Wow!”
Aku
terlonjak kaget dari lamunanku karena asal suara tersebut, aku langsung melihat
asal suara yang mengagetkan itu. Entah
sejak kapan Alvino telah berada di depanku dengan duduk di atas motornya. Aku hanya meliriknya dan kembali lagi pada
novel yang sempat terputus ku baca karena melamunkan Pak Parman yang tidak bisa
menjemputku.
“Lo
ternyata juara umum ke-2 ditiga angkatan ya Nath, tapi kenapa gue nggak tahu
ya. Seharusnya kan lo terkenal kayak si Viran yang cupu itu.” celotehnya yang
membuatku meliriknya. Tak ku hiraukan, aku melangkah pergi dari hadapannya. Dia
berisik. Namun, baru saja berbalik tanganku dicekal
olehnya. Dia tersenyum dengan gayanya yang membuat
semua para gadis di halte ini menatapnya dengan pandangan memuja. Oh god!
“Ada
apa ya?” tanyaku pelan dengan sedikit geram.
“Ikut
gue yuk!” ajaknya. Aku sedikit terbelalak
kaget, lalu ku tutupi dengan menggeleng, menolak ajakannya. “Kalo lo nggak mau
ikut gue, ntar gue teriak-teriak di sini samb...” aku langsung menutup mulutnya
dengan tanganku. Entah kekuatan
yang datang dari mana membuatku mampu untuk melakukan itu.
Dia
tertawa menang. Lalu menarik
tanganku yang mendekap mulutnya dengan ringan mengarah ke belakang punggungnya “Naik!”
perintahnya.
“Pegangan
Nath…” perintahnya lagi.
“Udah
kok,” sahutku. Aku memegang besi yang berada di belakang jok motor dengan kuat.
Jika yang dia maksud pegangan itu dengan memeluknya maka aku berkata ‘aku tidak
mau’ dan aku tidak akan melakukannya. Ini
yang pertama kalinya aku naik motor. Dan
benar saja, ini menakutkan.
“Kalo
lo cuman pegangan sama besi jok motor ini lo bakalan jatoh. Jangan keras kepala
Nath!” perintahnya lagi. Namun
aku tetap ‘tak bergeming, aku hanya diam dan tak menyahuti. Ya Tuhan, jangan buat hambamu ini jatuh
dan tergelepar dijalanan. Doaku alay.
Dengan
sangat tiba-tiba dia melajukan motornya dengan sangat cepat dan tanpa di duga
aku langsung memeluk tubuhnya dengan takut. Takut kalau saja nanti aku bisa
jatuh dari tempatku. Namun sesaat kemudian dia melajukan motornya dengan sangat
konstan. Tapi aku tetap tidak melepaskan peganganku dari tubuhnya bahkan tidak
berani untuk membuka mataku yang tertutup. Aku terlalu takut! Oke,
aku akui sekali lagi bahwa aku 'tak pernah naik motor seumur hidupku! Jadi
wajar saja bukan, jika aku ketakutan seperti sekarang?
Dari
posisi seperti ini membuatku mampu untuk mencium aromanya. Khas laki-laki. Aroma
musk tubuhnya yang bercampur dengan sedikit sisa aroma parfum yang dikenakannya
pagi tadi—mungkin.
“Udah
sampek!”
Aku
langsung mengerjapkan mataku, aku benar-benar tidak sadar kalau sekarang kami
berada tepat di depan rumahku. Aku menguraikan
peganganku dan turun dari motor. Aku berdiam di sampingnya menunggu penjelasan
apa yang akan keluar dari mulutnya. Tetapi, dia hanya tetap tersenyum dengan
smriknya ke arahku.
“Ini
rumah lo kan?” tanyanya. Akupun mengangguk.
Dia
menghela nafas dengan berat, “gue kira lo udah pindah, ternyata lo masih tetep
di sini.”
Aku
mengerjap, apa maksudnya? Bukankah
tidak ada orang yang mengetahui dimana rumahku? Aku ingat betul bahwa aku tidak menyebutkan alamatku padanya. Dan dia
Vino—aku menetapkan akan memanggilnya Vino—orang yang baru kukenal beberapa jam
yang lalu tahu dimana letak rumahku. Bahkan dia bukanlah teman SMP ku. Lalu dia siapa?
Tiba-tiba
dia menyemburkan tawanya membuat lamunanku terbuyar. Apa
yang lucu? Oh god! Pasti aku telah memasang wajah paling bodoh saat ini di
depannya yang membuat dia tertawa terbahak-bahak di depanku. Kurasakan sekarang bahwa pipiku sudah
memanas. Dan kupastikan wajahku pasti sekarang
telah merona akibat wajah bodoh yang aku perlihatkan pada Vino. Sial!
“Lo
itu lucu banget sih Nath! Sana
masuk Nath,” perintahnya. Dan aku
berbalik berjalan patuh menuju gerbang rumahku sesuai dengan perintahnya.
Tunggu!
Nath? Sedari tadi dia memanggilku Nath? Bukankah
aku tadi memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama
panggilanku ‘Keysha’? lalu tahu
darimana dia ‘Nath’ yang diambil dari ‘Nathania’. Aku berhenti di depan pintu
gerbang rumahku sambil berpikir. Lalu
berbalik menatapnya yang tersenyum.
“Keysha
Nathania Bagaskara,” gumam Vino yang sekarang telah berdiri di depan tubuhku
yang mematung. Aku mendongak menatapnya dengan bingung.
“Benerkan?”
senyumnya mengembang, “lo masih sama ternyata,” lanjutnya dan mengacak rambutku
lalu berlalu pergi. Aku masih mematung atas perlakuannya dan menatap punggung
itu semakin menjauh dengan keadaan tanda tanya.
***
Rambutku
kubiarkan terurai, lalu kuselipkan jepit rambut untuk mempercantiknya dengan
simpel. Kacamata berwarna senada dengan rok kotak-kotak tiga centi di atas
lututku, kaos kaki yang senada dengan seragam putihku dengan sedikit list yang mempercantiknya, jam arloji
yang kulingkarkan ditanganku pun senada dengan jepit dirambutku. Aku berjalan
ke arah rak sepatu mengambil salah-satu sepatu sekolah yang biasanya kupakai
saat memakai seragam ini.
Aku
melenggangkan kakiku keluar kamar dan duduk dengan manis di kursi meja makan
untuk mengikuti ritual sehari-hariku yaitu, sarapan pagi dengan roti tawar dan
coklat panas buatan mama.
Belum
sempat ku masukkan roti tawar yang telah ku beri selai kacang, tiba-tiba saja
bang Arka datang, “Nath, ada yang nyari kamu tuh di depan,” ujar bang Arka
sehabis berlari pagi. Rutinitasnya
semenjak dia pulang dari Perancis.
“Hah,
emang siapa?” tanyaku kaget, karena
sudah ku jelaskan dari awal bahwa teman-temanku tidak ada yang tahu
dimana rumahku. Kecuali Vino.
“Nggak
tahu. Kamu temuin aja sana di depan. Katanya sih temen sebangku seperjuangan
gitu,” jawab abangku dengan seenaknya sambal meraih roti tawar yang berada di
tanganku.
Tidak
ku hiraukan lagi, tanpa babibu akupun melesat ke ruang tamu untuk menghampiri
Vino —yang datang tanpa sebab dan akibat ke rumahku— walaupun roti tawarku
sudah diambil, tidak dengan coklat panasku, aku menggenggamnya sembari berjalan
menghampiri Vino.
“Hey
Nath!” sapa Vino dengan riangnya. “Udah
selesai belum sarapannya? Yuk
berangkat bareng.”
Aku
hanya melongo dengan ucapannya barusan, kaget dan tak bisa berkata apa-apa.
Anak ini memang susah ditebak, tiba-tiba saja memberiku tumpangan untuk pulang
ke rumah dan ini tiba-tiba saja datang untuk mengajakku ke sekolah
bersama-sama. Aku sampai tak sadar jika Bang Arka telah berada di sampingku dan
menyenggol sikuku pelan, “iyain aja sana, mumpung ada pangeran yang jemput,”
ujarnya sambil tersenyum lebar.
“Boleh
kok, boleh banget,” sahut Bang Arka menjawab ajakan Vino tanpa persetujuanku terlebih
dahulu.
***
Alhasil
aku sampai di sekolah dengan Vino! Ya Alvino Pradipta A. dia menculikku
pagi-pagi dengan menunjukkan senyum menawannya pada mama untuk meminta izin
membawaku pergi ke sekolah dengan dibonceng menggunakan motor yang menyesakkan
ini! Tumbennya mama dan bang Arka tidak cerewet seperti biasanya, padahal mama
dan bang Arka tahu
kalau aku tidak pernah naik motor dan takut saat mengendarainya. Malah Bang
Arka yang menjadi provokator agar Mama memberi izin agar Vino bisa membawaku ke
sekolah.
Pagi-pagi
seperti ini aku sudah menjadi mangsa bagi seluruh penjuru sekolah, semua leser
dari bola mata para siswi yang menatapku disepanjang koridor seakan ingin
menembakku. Bahkan tidak sedikit ada yang terang-terangan menyinggungku karena datang
ke sekolah bersama Alvino Pradipta! Aku jadi menyesali untuk mau ikut ke
sekolah bersamanya sekaligus mengutuk mama yang memberikan izin dengan mudahnya
pada Alvino untuk membawaku pergi ke sekolah pagi ini. Aku tidak begitu mengerti
seberapa terkenalnya Alvino, yang pasti aku tidak pernah tau Alvino di sekolah
ini. Lagian Alvino lah yang bersikap sok dekat denganku.
“Vino!”
teriak seseorang dari ujung koridor yang membuat semua mata tertuju pada asal
suara tersebut, termasuk aku dan Vino yang ikut berpaling ke arah asal suara. Veronika. Anak kelas X MIPA 1 merupakan
anak dari salah satu orangtua yang memberikan dana sumbangan terbesar bagi
sekolah Shellcario High School ini. Sialnya kelas yang aku sebutkan itu juga
merupakan kelas yang kutempati.
“Ngapain
kamu berangkat bareng cupu jelek ini?” lanjut Vero yang sekarang telah
bergelayut manja dilengan Vino. Tidak ku hiraukan, ini adalah kesempatanku untuk
kabur dari Alvino dan jeratan dari semua tatapann mata siswi di seluruh penjuru
koridor, aku berjalan meninggalkan mereka berdua dengan santai tanpa
memedulikan tatapan dari penjuru sekolah. Sayup-sayup
kudengar Vino meneriaki namaku. Namun,
tetap tidak kuhiraukan sedikitpun apalagi berbalik. Aku terus saja
melenggangkan kakiku menuju ruang kelas tanpa memedulikan semua tatapan mata
yang tertuju padauk, seolah-olah akan membunuh ku hidup-hidup sekarang juga.
***
Seperti
biasanya, aku menekuri novelku di atas tempatku belajar. Sekilas aku melihat
keadaan disekitarku, semuanya lagi banyak menyalin pekerjaan rumah yang diberikan
ibu Sumi kemarin. Aku acuh ‘tak terlalu menghiraukan mereka, toh juga pekerjaan
rummahku sudah selesai kukerjakan kemarin sepulang sekolah di rumah.
“Nath,
gue ada yang nggak ngerti nih sama pr yang dikasih sama bu Sumi kemarin. Lo kan
pinter. Ajarin gue ya, kan lo nggak pelit,” rayu seseorang padaku setelah
sampai ke kelas. Siapa lagi kalo
bukan Vino. Aku hanya memutarkan bola mataku memberi tanda bahwa aku tidak
perduli dengannya.
Dia
mengacungkan buku dan penanya padauk berusaha agar aku tak mengacuhkannya. Tetap tak kuhiraukan, aku berbalik
menyamping untuk membaca. Namun,
dia merebut novel yang berada di tanganku dengan paksa dan menyimpannya, yang
membuatku akhirnya dengan sangat terpaksa dan mau tidak mau harus membantunya
untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Dengan
malas-malasan aku mengeluarkan buku tugasku dari dalam tas dan membuka
lembarannya satu-persatu. Vino tersenyum lebar melihat tingkahku yang terlihat
kalah darinya. Aku mengajarkannya dengan pelan dan
sedikit malas. Aku dibuat kesal setengah mati karena
Vino. Yang benar saja, hampir setengah jam aku mengajarkannya dan dia hanya
mengerti pada satu soal saja.
“Susah
banget sih Nath, lo kok bisa. Kenapa gue nggak?” celetuknya sebal.
Aku
menghela nafas berat, “kamu bisa kok Vin, asal latihan aja terus. Seenggaknya satu hari lima menit udah
cukup kok.”
“Gue
coba, tapi nggak janji ya.”
Aku
hanya menggeleng mendengar tanggapannya, siapa yang perduli? Siapa juga yang
meminta dia berjanji? Aku tidak
menyuruhnya untuk bisa dan harus bisa. Aku hanya membantunya selagi dia meminta
bantuanku. Aku hanya mengubah cara pandangnya sedikit saja agar dia tidak
merepotkanku lagi kedepannya. Lagian aku tidak perduli dia memahaminya tau
tidak. Huh Vino!
***
Setiap
tahun sekolah kami mengadakan malam tahun baruan di sekolah. Kami menyambut tahun baru di sekolah
dengan membakar jagung, ayam, dan apapun yang bisa kami lakukan. Pada momen ini
lah para orangtua unjuk kekayaan dengan memberikan berbagai macam biaya
akomodasi. Aku sebenarnya tidak menyukai hal ini
walaupun orangtuaku tetap memberikan biaya akomodasi, tujuan orangtua ku agar
anaknya mengikuti acara tersebut, namun selalu gagal. Walaupun aku tidak
menyukai acara ini, tetap acara ini akan diselenggarakan karena merupakan
program dari osis yang mau ‘tak mau harus diadakan. Pihak sekolah juga mendukung
program ini karena kelebihan biaya akomodasi akan masuk ke uang kas sekolah
untuk pendanaan yang lain.
Kali
ini aku duduk sendirian di taman belakang sekolah, tidak terlalu jauh dari
segerombolan teman sekolahku yang lainnya. Aku tidak ikut serta mengikuti
mereka yang sedang asik-asiknya, karena itu bukan duniaku. Duniaku hanya membaca dan aku sedang
melakukan ritual itu sekarang. Ditemani dengan angin malam yang membelai
wajahku, membuat anak rambutku menari nari di pipiku.
Pakaianku
malam ini sedikit mencolok karena pilihan mama. Terlihat sekali mencoloknya
dengan sekilas saja semua mata para siswi memperhatikanku, tak sedikit juga
para siswa Nampak kaget dengan pakaianku malam ini, gaun malam santai merah
maron ditutupi dengan coat yang tidak
dikancing, lalu sepatu kets berwarna putih yang menjadikanku sebagai siswi yang
sangat bermodis.
Kalau
tidak karena Alvino yang mengajak dan merayuku untuk datang kemari, aku tidak
akan mau datang. Belum lagi paksaan, bujuk rayu dari Mama dan Bang Arka. Tapi
sekarang, Vino malah asik sendiri dengan teman-temannya hingga lupa bahwa aku
telah terpisah jauh darinya. Saat
sampai kemari, Vino dikerumuni oleh teman-temannya. Aku
yang merasa terusir akhirnya mengasingkan diri di sini. Di taman belakang
sekolah tempat favoritku menenangkan diri.
“Heh
cupu!” tegur seseorang yang kukenal suaranya, siapa lagi kalau bukan dia. Dia
menyenggol-nyenggol kakiku. Namun, aku mengacuhkannya. “Cupu! Lo bisa denger gue, kan?!” lanjutnya
membentakku geram. Aku melepaskan
earphone yang kugunakan dan menutup novel yang kupegang dengan beralih
menatapnya.
“Ada
perlu apa Ver?” tanyaku santai.
“Temenin
gue yuk!” ajaknya menarik tanganku sampai aku berdiri di sampingnya.
“Kemana?”
“Ke
departemen store, sebentar aja.”
“Ngapain?”
“Ada
bahan yang kurang, mumpung belum malem banget nih,” rayunya lagi. Aku melihat
jam arlojiku, pukul setengah sembilan malam. Aku mengangguk menyetujuinya. Lantas dia menarikku sampai ke mobilnya.
Di
departemen store dia langsung menarikku paksa menuju ke lift untuk sampai ke supermarket yang berada di lantai paling atas
departemen store, lantai empat. Aku berhenti sejenak sebelum memasuki lift itu, hingga akhirnya Vero menarik lenganku
kuat, “kenapa nggak naik tangga escalator aja sih Ver?”
“Nggak
ah, enakan naik ini yuk!” dia menarikku tanpa persetujuanku terlebih dahulu.
Saat aku sudah di dalam dengan beberapa orang yang menghalangiku dari pintu lift, dia langsung loncat keluar lift dan meninggalkanku yang terperangkap
karena banyaknya orang yang menaiki lift ini.
Aku meneriakinya mencoba menggapainya tetapi pintu lift tertutup.
Dadaku
mulai sesak dan kehabisan oksigen, aku mulai susah bernafas. Pelipisku mulai
berkeringat dingin. Bukan karena udara di dalam lift yang panas, tapi karena aku mulai sekarat! Aku memukul-mukul
dadaku berharap dapat bernafas dengan mudah. Semua orang tidak menyadari
keadaanku yang berada paling pojok, lebih tepatnya tidak ingin memerdulikaku. Beginikah
rasanya tidak dihiraukan oleh semua orang. Oh Tuhan! Mama! Vino! Bang Arka!
Tolongin Nath! Nath sekarat di sini, batinku berteriak kencang. Berharap mereka
adalah salah satu dari yang aku harapkan.
No comments :
Post a Comment